Sunday, May 31, 2015

Semacam "Mbludus"

Setelah berkutat dengan kanvas dari tanggal 28 Mei 2015, akhirnya selesai juga gambar diatas tiga panel kanvas berukuran 1X1 meter dan 1X1,5 Meter.

Memvisualkan ide tentang dongengan tokoh rekayasa si Gundul dengan segala sisi kehidupannya.
Prosesnya diawali dengan  membuat Novis (notulensi Visual) sebaga dasar pembuatan karya.
Setelah itu kemudin dibuat dua artworks (rencana awal empat panel) dengan gaya visual vinyet,

Sebelum sampai di depan kanvas  ada sedikit cerita tentang perjalanan dari Depok Jawa barat menuju jogjakarta van Mbantul  pada tanggal 28 Mei pagi menggunakan kereta pagi Taksaka.
Berjuang menembus kemacetan Jakata selama hampir dua jam dengan tentengan dua gambar di atas kertas karton saya "mbentoyong" diatas angkutan.

Sampai Gambir harus ngeprint tiket yang sebelumnya beli di sebuah minimrket lalu nantinya di print mandiri di Stasiun. Tertera di nota belnja, tiket harus di print di setasiun satu jam sebelum keberangkatan.
Pasal itulah yang membuat saya lintang pukang harus segera sampai Gambir.

Perjalanan kereta berlangsung aman terkendali.
Sampai Jogja jam setengah lima sore.
Lalu melanjutkan perjalanan ke rumah menggunakan ojek yang meminta ongkos tigapuluh ribu rupiah.
Saya tidak berusaha menawar, dengan harapan pak ojeknya senang terus mendoakan saya makin kaya raya. #modusdoa

Sesampai di rumah yang masuk wilayah kecamatan Sewon, basa-basi dulu dengan tuan rumah tentu saja (yang menunggu rumah warisan keluarga adalah kakak saya beserta keluarga kecilnya), dilanjut mencari informasi tempat print kanvas yang bisa jadi tidak pakai lama.
ada info dari keponakan tempat print knvas yng biasanya melayani keperluan foto pernikahan di bilangan Jl. parangtritis. Oke, saya catat.

Hari jumat selepas"jumatan" saya order print foto ke AWI/Aneka Warna Indah di Jl Parangtritis depan masjid Danunegaran.
Awalnya print memerlukan waktu tiga hari, setelah nego, print kanvas bisa jadi sehari. Sabtu jam 10.00 kata si embak penjaga toko. Harga print kanvas ukurn 1X1 meter adalah 450ribu rupiah. Saya print 3 Kanvas ukuran 1X1meter.

Esok harinya, Jam 10 lebih sedikit saya sampai di lagi di AWI. Print orderan saya sudah jadi dan menjadi pesanan paling besar ukurannya di minggu itu.

Sesampai rumah, dijeda sebatang rokok dan secangkir kopi, saya mulai bekerja mewarnai hasil print kanvas.
proses awal pewarnaan

Hasil jadi pewarnaan

Disela mewarnai hasil print kanvas,saya juga mengambar NOVIS diatas kanvas ukuran 1X1,5 meter.
Kerja keras bagai kudlah pokoknya :P
NOVIS (Notulensi Visual)

Dari hari sabtu sampai minggu praktis saya menggambar full.
Mengabaikan rokok yang tak juga dibakar. Juga kopi seduhan yang tau-tau sudah dingin, lha memang sudah saya "cuekin" dua jam lebih. Juga makan yang makin tidak teratur karena konsentrasi tangan dikendalikan pikiran, dituntun oleh mata ya hanya ke tiga lebar kanvas, dengan target minggu malam sudah harus diantar ke Bulak Sumur UGM. (mulai lebay :P)

Saat asik menggambar baru teringat harus cek space untuk memasang karya, itu berarti harus bertemu dengan penanggungjawab display pameran.
Dibantu mbakyu Diefla, seorang kawan bocor-bocoran di duni maya, yang sepertinya memang terlahir untuk menjadi orang baik, saya bertemu Mas Bram,  lulusan ISi jurusan kriya angkatan 93, yang ditapuk, eh di dapuk menjadi penanggungjawab display pameran.

Yang pasti saya memang harus ketemu panitia, untuk memstikan kehadir saya di perhelatan JAW ini.

Setelah beres urusan display, kembali lagi saya di depan kanvas, "nyenuk" menggambar.
Malam minggupun terlewat mesra bersama kanvas dan cat serta kuas.

Tengah alam,"setan" mulai datang.
Iqbal ponakan saya mengajak ke sate klatak jalan imogiri. ini ajakan yang seksi dan "napsuin"  melebihi Tyas Mirasih. 
Segera saya iyain.
Lalu kami meluncur ke warung sate klatak meninggalkan kanvas yang tergeletak tanpa dirapikan.
Selesai makan sate muncul godaan lagi. Pijat. ya, tetangga iqbal ada yang bisa memijat. 
Akhirnya saya pijat dilanjutkan.... Tidur. Itu artinya mengambar akan dilnjutkan hari minggu.

Seharian di minggu yang panas, kanvas coba saya "kanvaskan"
Jam lima sore, gambar di tiga kanvas sudah terlihat selesai. Tinggal sedikit finishing.
tinggal sentuhan akhir

Ada yang hampir ketingalan, konfirmasi dengan mas Bram perihal "loading" barang ke ruang pamer.
Memastikan ada orang di galeri yang masih di renovasi oleh tukang.
Yang tak kalah penting adalah mencari mobil bak terbuka untuk mengangkat kaya.
Beruntung ada tetangga yang menyewakan mobil. Aman semua kayaknya.
Jam setengah sepuluh malam, dengan pertimbangan jalan sudah lengang, kami jalan ke UGM.

Sampai di PKKH suasana sepi.
pintu msuk pun di gembok Saya kontak lagi Mas Bram untuk memastikan ada orang di galeri. Agak panik saat mas Bram bilang hp tukang yang ada di dalam galeri tak bisa di hubungi.

Saya menawarkan opsi lompat pagar (bagian ini yang kemudian megingatkan saat tahun 90an, saat anak-anak kampung Saman suka "mbludus" ke Purawisata untuk nunut menikmati dangdut gratisan.

Seolah masih anak umur 20an saya lompat pagar, dengan kesadaran fisik 40an tulang punggung tentu sudah merapuh.Agar tidak dicurigai orng yang lalulalang saya memilih bagian tembok yang gelap dan sepi. Alhamdullilah banyak :P

Lalu "hupp yakk" dengan menggunakan ginkang hasil belajar dengan Kho Ping Ho, saya sukses melompat. Seakan-akan menjadi Suma Han, pendekar super sakti langkah teraa ringan sekali (Mbell!)

Di galeri beberapa tukng tampak di lantai atas ruang pamer.
Saya kulonuwun sambil bilang kalau akan "loading" karya. Mereka tampak kaget, tetapi tak berlngsung lama. Rupanya pak mandor sudah memberi tahu, tapi kapan saya datang tak ada jamnya. Terus kata para tukang, biasanya pintu depan tidak di gembok.. Yowis, rejeki saya berarti, harus sedikit berolah raga.

Karya akhirnya bisa masuk galeri, dengan tambahan komentar dari para tukang yang bikin mongkok, "Apik mas!"
Bagi saya, para tukang itu melebihi pengamat seni. Komentar mereka lebih jujur.

Bukannya semakin awam seseorang akan semakin jujur dalam berkata-kata?

(bersambung)

kanvas kedua





(Rahman Seblat)

















Wednesday, May 13, 2015

Colongan dari Bandung

Di acara PAKOBAN pada tanggal 9-10 mei kemarin, selain memajang karya komik karya  seblatkomik,  juga ikut nampang zine Vinyet Kota dan beberapa artwork bergaya vinyet.
Itu memang disengaja, untuk melihat respon pengunjung terhadap gaya vinyet yang muncul di artwork yang dibuat diatas kanvas.

beberapa pengunjung menanyakan harganya, sedangkan zine Vinyet Kota yang tinggal tersisa lima eksemplar habis terjual.

Ada harapan dari event PAKOBAN kemarin gaya visual vinyet yang menjadi ciri khas saya akan lebih dikenal masyarakat.
Juga sebagai tes awal sebelum ikut tampil di acara Jogja Artweeks pada bulan juni mendatang.
Begitu :)
si gundul


Tuesday, May 12, 2015

9 th lumpur lapindo


Ilustrasi 9 th Lumpur lapindo dalam gaya vinyet.
Gambar ini juga menjadi salah satu panel dalam komik "Muasal lumpur Lapindo" yang baru saja di terbitkan.
Komik "Muasal Lumpur Lapindo" kemarin diikut sertakan "ngelapak" dalam acara  Pasar komik Bandung/ PAKOBAN4 di Braga Citywalk Bandung.


Monday, May 4, 2015

Pulang (menuju Jogja Artweeks)

Saya menunggu kesempatan itu.
Pulang ke Jogjakarta yang tidak sekedar ke rumah, melepas kangen 
dengan saudara, lalu ziarah ke makam orangtua.

Saya ingin pulang, bersama karya saya yang selama ini saya buat di Depok.
Saya ingin pulang dengan ide-ide terkait seni rupa.

Kesempatan itu datang, diawali melihat pengumuman acara Jogja ArtWeeks yang ada
di media sosial, dimana acara tersebut membuka peluang seniman untuk bisa ikut 
dengan mengirim aplikasi konsep seni yang di tawarkan.

Lalu saya mulai berpikir, apa yang akan saya tawarkan untuk berpartisipasi 
di acara tersebut.
Teringat beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan proyek menggambar vinyet yang kemudian 
saya terbitkan secara swa kelola dalam bentuk zine vinyet kota. 

Sepertinya bisa saya kemas untuk diikutsertakan dan mencuri perhatian. 
Teringat pula aktivitas saya  akhir - akhir ini membuat graphic recording yang 
kemudian saya namai notulensi grafis. Lalu saya berpikir untuk menggabungkan 
keduanya menjadi satu konsep berkesenian. Mengolah ide dalam bentuk notulensi  
grafis kemudian mengolah lagi menjadi karya seni dengan gaya vinyet.

Lalu saya mengirimkan konsep itu ke panitia. Seleksi tahap awal lolos, kemudian berlanjut ke wawancara telepon, karena panitia di jogja sedang saya di Depok.

Tahap berikutnya adalah wawancara dengan fasilitator.
Saya bertemu dengan mas Yudi yang mewakili panitia Jogja Artweeks, di sebuah kantor yang
terletak di belakang Antam Jagakarsa.

Setelah ngobrol dan makan siang dengan menu yang “jogja sekali” kemudian saya 
mempresentasikan konsep karya yang akan ditampilkan. 
Saya menjelaskan proses “bertemu” vinyet lalu kemudian mengembangkan gaya rupa vinyet
yang sudah banyak ditinggalkan para perupa. 
Sampai kemudian membuat  zine vinyet kota untuk menampung gambar vinyet yang saya buat.

Setelah itu saya melanjutkan mempresentasikan novis, notulensi ide lewat grafis yang akan
menjadi awal proses membuat karya. Dari novis itu kemudian ide akan dikembangkan lagi 
menjadi gambar vinyet sebagai hasil akhir artwork.

Hasil akhir yang diharapkan adalah, ada rangkaian visual proses menggambar, diawali dari ide 
kemudian menjadi notulensi visual, lalu menjadi gambar vinyet.
Saya butuh space sekitar empat meter untuk mewujudkan itu.

Oborlan berlangsung seru karena mungkin kita hampir sama, pernah mengalami era vinyet
menjadi visual di koran ataupun majalah.
Mas Yudi memberi banyak masukan terkait visualisasi vinyet yang bisa 
dikembangkan ke banyak media cetak, tidak cuma di tampilkan di zine, bisa dicetak 
di atas kaos dan material lain yang intinya bisa dijual.

Proses wawancara selesai, saya akan di hubungi lagi untuk tahapan finalisasi karya, yang itu
berarti saya harus pulang ke jogja.
Semoga lancar, sehingga cita-cita saya untuk bisa pulang membawa karya bisa terlaksana :)




bercerita tentang komik penjara
fasilitator jogja artweeks

si gundul 01


si gundul 02


vinyet untuk ilustrasi kumcer