Thursday, October 8, 2015

#inktober

http://mrjakeparker.com/inktober
Viral yang dilakukan Jake Parker singgah juga di blog ini.
Awalnya saya tidak ngeh dengan tagar #inktober dibawah beraneka gambar yang rata-rata hitamputih, dibuat dengan pena, kuas dengan tinta, atau spidol.
Lalu seorang kawan menjelaskan saat kami ngobrol di mikrobloging twitter. Bahwa si Jake Parkerlah yang memviral orang untuk terlibat menggambar secara rutin setiap hari selama sebulan, di bulan oktober, dalam event #inktober.

#01 Cakil gaya Solo
Oke deh, sehubungan saya juga sedang belajar menggambar wayang kulit, tidak ada salahnya proses belajar ini saya bagi di blog atau mikroblogging.

Diawali dengan menggambar cakil gaya solo,
kemudian Ramaparasu (saya tidak tahu gaya mana), lalu gambar Bagong gaya Solo, dan yang keempat kembali menggambar Cakil dalam gaya Jogjakarta.

#02Rama Parasu


Yah, wayang di masing-maisng daerah memiliki gaya visual yang beda. Itu menariknya.
 Gaya yang sedang saya cermati dan pelajari saat ini untuk wayang purwa adalah gaya Solo, Jogja dan Banyumasan.

Saya menyesal, saat kuliah dulu menyepelekan anak-anak kriya yang menyuntuki wayang.
#03 Bagong

Setelah sekarang mencermati dan menggambar wayang, baru muncul kesadaran bahwa wayang itu adalah sosok yang modis penuh gaya dan citarasa. Dari ujung rambut sampai kaki semua bergaya.
Juga pernah-pernik aksesoris yang dipakai selalu melambangkan sikap si wayang itu. Sosok Raksasa misalnya, akan menggunakan aksesoris sesuai dengan karakternya,
#04 Cakil gaya Jogja
 Juga kesatria, baju yang dipakai merupakan perlambang sikapnya. Yang lebih dahsyat lagi adalah detail dalam masing-masing aksesoris.
Gaya timur yang simbolis dengan visual cenderung flat/ datar bergaya dekoratif dengan stilasi yang rumit dan indah muncul di setiap busana para wayang.
Itu menarik dan menantang bagi saya untuk bisa mempelajari lebih lanjut.
Kecintaan terhadap wayang muncul pelahan dan lesat saat saya menikmati menarik garis membuat figur wayang dan mengisi pernak-perniknya.




Lalu event #inktober menjadi media saya memajang apa yang sedang saya kerjakan. Belajar menggambar wayang :D

Sunday, June 7, 2015

Ide yang Bergerak (Catatan tercecer, untuk JAW 15)





Saat perjalanan pulang dari tempat kerja saya di Bogor, sehabis magrib diatas kereta menuju Depok, saya mendapat pesan singkat dari seorang teman yang menjadi panitia acara JAW 15 (Jogja Artweeks) dimana saya ikut serta sebagai peserta. Teman saya menanyakan apa judul karya nanti. 
Pertanyaan mendadak yang terus terang belum ada jawaban di kepala saya. 
Sambil digoyang-goyang kereta saya berpikir apa ya yang pas untuk karya yang saya buat.
Yang saya bayangkan waktu itu adalah ketidak mutlakan. Bukan hitam putih. Tak ada yang berhenti, semua berubah... 

Karya yang saya buat ingin menggambarkan tentang ketidakmutlakan, terkait segala hal yang terjadi diatas muka bumi. 
Lewat tokoh si gundul saya ingin menggambarkan proses hidup manusia, siapapun dia yang tak pernah mutlak. Pada prosesnya manusia bisa sangat miskin, lalu mendadak kaya. Bisa sangat alim, lalu mendadak jadi bajingan, lalu jadi orang baik lagi. Tidak ada yang statis seperti cerita super hero, yang seumur hidupnya harus berperan menjadi orang baik, sedangkan lawannya seolah-olah dilahirkan untuk menjadi perusak. Tidak ada pembagian bahwa yang baik itu malaikat, lalu yang buruk itu setan. Semua manusia memiliki sisi baik dan buruk. Tinggal mana yang akan dominan muncul. 
Ketidakjutlakan juga terkait hasil karya. 
Keotentikanpun ingin saya pertanyakan. 
Dunia ini orang sering mengagung-agungkan keaslian. Mengoleksi sesuatu dipastikan asli atau tidak. Pun dalam penciptaan karya, orisinalitas seolah menjadi dewa. Padahal manusia itu dalam prosesnya selalu saling mempengaruhi. Otak manusia juga sekumpulan pengalaman demi pengalaman yang kelindan dan saling terkait. Orisinalitas yang mana yangi ingin diklaim?
Maka dalam visualnya nanti saya ingin membuat replika dari karya yang pada penampakannya juga akan terlihat orisinal, tetapi sebenarnya adalah replika yang "disentuh."

Lalu muncul kalimat “tidak pernah mutlak” terlintas “mak penculut” di kepala. Karena masih ragu, saya menanyakan ke mas Tomi, teman kerja yang juga teman seperjalanan pulang pergi kantor. Ia manggut-manggut. Meski saya tidak yakin manggut-manggutnya itu mudeng opo malah bingung. Yo wis lah, biar ga kelihatan terlalu lama mikir, segera saya kirim pesan balik ke teman di jogja “tidak pernah mutlak judule mbak, wangun ta?”
Dan dijawab “wangun” saya mbatin kawan saya pasti sambil cengengesan. Sejarah pertemanan saya dengan kawan satu ini adalah lingkaran cangkem trocoh yang tak pernah seriyes. Baru untuk event inilah beliau tampak menyerius-riuskan diri.. Maklum penggagas acara event besar.

Setelah ketemu judul, tinggal prosesnya, yang akan saya kerjakan di Jogjakarta dari tanggal 28-30 mei 2015.
Masih harus kerja keras lagi untuk kepulangan ke Jogja lewat karya ini :)


Sunday, May 31, 2015

Semacam "Mbludus"

Setelah berkutat dengan kanvas dari tanggal 28 Mei 2015, akhirnya selesai juga gambar diatas tiga panel kanvas berukuran 1X1 meter dan 1X1,5 Meter.

Memvisualkan ide tentang dongengan tokoh rekayasa si Gundul dengan segala sisi kehidupannya.
Prosesnya diawali dengan  membuat Novis (notulensi Visual) sebaga dasar pembuatan karya.
Setelah itu kemudin dibuat dua artworks (rencana awal empat panel) dengan gaya visual vinyet,

Sebelum sampai di depan kanvas  ada sedikit cerita tentang perjalanan dari Depok Jawa barat menuju jogjakarta van Mbantul  pada tanggal 28 Mei pagi menggunakan kereta pagi Taksaka.
Berjuang menembus kemacetan Jakata selama hampir dua jam dengan tentengan dua gambar di atas kertas karton saya "mbentoyong" diatas angkutan.

Sampai Gambir harus ngeprint tiket yang sebelumnya beli di sebuah minimrket lalu nantinya di print mandiri di Stasiun. Tertera di nota belnja, tiket harus di print di setasiun satu jam sebelum keberangkatan.
Pasal itulah yang membuat saya lintang pukang harus segera sampai Gambir.

Perjalanan kereta berlangsung aman terkendali.
Sampai Jogja jam setengah lima sore.
Lalu melanjutkan perjalanan ke rumah menggunakan ojek yang meminta ongkos tigapuluh ribu rupiah.
Saya tidak berusaha menawar, dengan harapan pak ojeknya senang terus mendoakan saya makin kaya raya. #modusdoa

Sesampai di rumah yang masuk wilayah kecamatan Sewon, basa-basi dulu dengan tuan rumah tentu saja (yang menunggu rumah warisan keluarga adalah kakak saya beserta keluarga kecilnya), dilanjut mencari informasi tempat print kanvas yang bisa jadi tidak pakai lama.
ada info dari keponakan tempat print knvas yng biasanya melayani keperluan foto pernikahan di bilangan Jl. parangtritis. Oke, saya catat.

Hari jumat selepas"jumatan" saya order print foto ke AWI/Aneka Warna Indah di Jl Parangtritis depan masjid Danunegaran.
Awalnya print memerlukan waktu tiga hari, setelah nego, print kanvas bisa jadi sehari. Sabtu jam 10.00 kata si embak penjaga toko. Harga print kanvas ukurn 1X1 meter adalah 450ribu rupiah. Saya print 3 Kanvas ukuran 1X1meter.

Esok harinya, Jam 10 lebih sedikit saya sampai di lagi di AWI. Print orderan saya sudah jadi dan menjadi pesanan paling besar ukurannya di minggu itu.

Sesampai rumah, dijeda sebatang rokok dan secangkir kopi, saya mulai bekerja mewarnai hasil print kanvas.
proses awal pewarnaan

Hasil jadi pewarnaan

Disela mewarnai hasil print kanvas,saya juga mengambar NOVIS diatas kanvas ukuran 1X1,5 meter.
Kerja keras bagai kudlah pokoknya :P
NOVIS (Notulensi Visual)

Dari hari sabtu sampai minggu praktis saya menggambar full.
Mengabaikan rokok yang tak juga dibakar. Juga kopi seduhan yang tau-tau sudah dingin, lha memang sudah saya "cuekin" dua jam lebih. Juga makan yang makin tidak teratur karena konsentrasi tangan dikendalikan pikiran, dituntun oleh mata ya hanya ke tiga lebar kanvas, dengan target minggu malam sudah harus diantar ke Bulak Sumur UGM. (mulai lebay :P)

Saat asik menggambar baru teringat harus cek space untuk memasang karya, itu berarti harus bertemu dengan penanggungjawab display pameran.
Dibantu mbakyu Diefla, seorang kawan bocor-bocoran di duni maya, yang sepertinya memang terlahir untuk menjadi orang baik, saya bertemu Mas Bram,  lulusan ISi jurusan kriya angkatan 93, yang ditapuk, eh di dapuk menjadi penanggungjawab display pameran.

Yang pasti saya memang harus ketemu panitia, untuk memstikan kehadir saya di perhelatan JAW ini.

Setelah beres urusan display, kembali lagi saya di depan kanvas, "nyenuk" menggambar.
Malam minggupun terlewat mesra bersama kanvas dan cat serta kuas.

Tengah alam,"setan" mulai datang.
Iqbal ponakan saya mengajak ke sate klatak jalan imogiri. ini ajakan yang seksi dan "napsuin"  melebihi Tyas Mirasih. 
Segera saya iyain.
Lalu kami meluncur ke warung sate klatak meninggalkan kanvas yang tergeletak tanpa dirapikan.
Selesai makan sate muncul godaan lagi. Pijat. ya, tetangga iqbal ada yang bisa memijat. 
Akhirnya saya pijat dilanjutkan.... Tidur. Itu artinya mengambar akan dilnjutkan hari minggu.

Seharian di minggu yang panas, kanvas coba saya "kanvaskan"
Jam lima sore, gambar di tiga kanvas sudah terlihat selesai. Tinggal sedikit finishing.
tinggal sentuhan akhir

Ada yang hampir ketingalan, konfirmasi dengan mas Bram perihal "loading" barang ke ruang pamer.
Memastikan ada orang di galeri yang masih di renovasi oleh tukang.
Yang tak kalah penting adalah mencari mobil bak terbuka untuk mengangkat kaya.
Beruntung ada tetangga yang menyewakan mobil. Aman semua kayaknya.
Jam setengah sepuluh malam, dengan pertimbangan jalan sudah lengang, kami jalan ke UGM.

Sampai di PKKH suasana sepi.
pintu msuk pun di gembok Saya kontak lagi Mas Bram untuk memastikan ada orang di galeri. Agak panik saat mas Bram bilang hp tukang yang ada di dalam galeri tak bisa di hubungi.

Saya menawarkan opsi lompat pagar (bagian ini yang kemudian megingatkan saat tahun 90an, saat anak-anak kampung Saman suka "mbludus" ke Purawisata untuk nunut menikmati dangdut gratisan.

Seolah masih anak umur 20an saya lompat pagar, dengan kesadaran fisik 40an tulang punggung tentu sudah merapuh.Agar tidak dicurigai orng yang lalulalang saya memilih bagian tembok yang gelap dan sepi. Alhamdullilah banyak :P

Lalu "hupp yakk" dengan menggunakan ginkang hasil belajar dengan Kho Ping Ho, saya sukses melompat. Seakan-akan menjadi Suma Han, pendekar super sakti langkah teraa ringan sekali (Mbell!)

Di galeri beberapa tukng tampak di lantai atas ruang pamer.
Saya kulonuwun sambil bilang kalau akan "loading" karya. Mereka tampak kaget, tetapi tak berlngsung lama. Rupanya pak mandor sudah memberi tahu, tapi kapan saya datang tak ada jamnya. Terus kata para tukang, biasanya pintu depan tidak di gembok.. Yowis, rejeki saya berarti, harus sedikit berolah raga.

Karya akhirnya bisa masuk galeri, dengan tambahan komentar dari para tukang yang bikin mongkok, "Apik mas!"
Bagi saya, para tukang itu melebihi pengamat seni. Komentar mereka lebih jujur.

Bukannya semakin awam seseorang akan semakin jujur dalam berkata-kata?

(bersambung)

kanvas kedua





(Rahman Seblat)

















Wednesday, May 13, 2015

Colongan dari Bandung

Di acara PAKOBAN pada tanggal 9-10 mei kemarin, selain memajang karya komik karya  seblatkomik,  juga ikut nampang zine Vinyet Kota dan beberapa artwork bergaya vinyet.
Itu memang disengaja, untuk melihat respon pengunjung terhadap gaya vinyet yang muncul di artwork yang dibuat diatas kanvas.

beberapa pengunjung menanyakan harganya, sedangkan zine Vinyet Kota yang tinggal tersisa lima eksemplar habis terjual.

Ada harapan dari event PAKOBAN kemarin gaya visual vinyet yang menjadi ciri khas saya akan lebih dikenal masyarakat.
Juga sebagai tes awal sebelum ikut tampil di acara Jogja Artweeks pada bulan juni mendatang.
Begitu :)
si gundul


Tuesday, May 12, 2015

9 th lumpur lapindo


Ilustrasi 9 th Lumpur lapindo dalam gaya vinyet.
Gambar ini juga menjadi salah satu panel dalam komik "Muasal lumpur Lapindo" yang baru saja di terbitkan.
Komik "Muasal Lumpur Lapindo" kemarin diikut sertakan "ngelapak" dalam acara  Pasar komik Bandung/ PAKOBAN4 di Braga Citywalk Bandung.


Monday, May 4, 2015

Pulang (menuju Jogja Artweeks)

Saya menunggu kesempatan itu.
Pulang ke Jogjakarta yang tidak sekedar ke rumah, melepas kangen 
dengan saudara, lalu ziarah ke makam orangtua.

Saya ingin pulang, bersama karya saya yang selama ini saya buat di Depok.
Saya ingin pulang dengan ide-ide terkait seni rupa.

Kesempatan itu datang, diawali melihat pengumuman acara Jogja ArtWeeks yang ada
di media sosial, dimana acara tersebut membuka peluang seniman untuk bisa ikut 
dengan mengirim aplikasi konsep seni yang di tawarkan.

Lalu saya mulai berpikir, apa yang akan saya tawarkan untuk berpartisipasi 
di acara tersebut.
Teringat beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan proyek menggambar vinyet yang kemudian 
saya terbitkan secara swa kelola dalam bentuk zine vinyet kota. 

Sepertinya bisa saya kemas untuk diikutsertakan dan mencuri perhatian. 
Teringat pula aktivitas saya  akhir - akhir ini membuat graphic recording yang 
kemudian saya namai notulensi grafis. Lalu saya berpikir untuk menggabungkan 
keduanya menjadi satu konsep berkesenian. Mengolah ide dalam bentuk notulensi  
grafis kemudian mengolah lagi menjadi karya seni dengan gaya vinyet.

Lalu saya mengirimkan konsep itu ke panitia. Seleksi tahap awal lolos, kemudian berlanjut ke wawancara telepon, karena panitia di jogja sedang saya di Depok.

Tahap berikutnya adalah wawancara dengan fasilitator.
Saya bertemu dengan mas Yudi yang mewakili panitia Jogja Artweeks, di sebuah kantor yang
terletak di belakang Antam Jagakarsa.

Setelah ngobrol dan makan siang dengan menu yang “jogja sekali” kemudian saya 
mempresentasikan konsep karya yang akan ditampilkan. 
Saya menjelaskan proses “bertemu” vinyet lalu kemudian mengembangkan gaya rupa vinyet
yang sudah banyak ditinggalkan para perupa. 
Sampai kemudian membuat  zine vinyet kota untuk menampung gambar vinyet yang saya buat.

Setelah itu saya melanjutkan mempresentasikan novis, notulensi ide lewat grafis yang akan
menjadi awal proses membuat karya. Dari novis itu kemudian ide akan dikembangkan lagi 
menjadi gambar vinyet sebagai hasil akhir artwork.

Hasil akhir yang diharapkan adalah, ada rangkaian visual proses menggambar, diawali dari ide 
kemudian menjadi notulensi visual, lalu menjadi gambar vinyet.
Saya butuh space sekitar empat meter untuk mewujudkan itu.

Oborlan berlangsung seru karena mungkin kita hampir sama, pernah mengalami era vinyet
menjadi visual di koran ataupun majalah.
Mas Yudi memberi banyak masukan terkait visualisasi vinyet yang bisa 
dikembangkan ke banyak media cetak, tidak cuma di tampilkan di zine, bisa dicetak 
di atas kaos dan material lain yang intinya bisa dijual.

Proses wawancara selesai, saya akan di hubungi lagi untuk tahapan finalisasi karya, yang itu
berarti saya harus pulang ke jogja.
Semoga lancar, sehingga cita-cita saya untuk bisa pulang membawa karya bisa terlaksana :)




bercerita tentang komik penjara
fasilitator jogja artweeks

si gundul 01


si gundul 02


vinyet untuk ilustrasi kumcer
















Tuesday, January 20, 2015

remeh temeh tentang kawan lama

Kemarin di Jogja saya ketemu Umar. 
kami sempat tak saling kenal. Ya, Umar adalah teman di SMSR/SMA. 
Dengan umar di kelas empat SMSR kita sama-sama PKL di tempat pak Godot Sutejo, seniman dan kolektor motor antik di Jogjakarta. 

Bertemu Umar adalah bertemu masa lalu, juga bertemu vignet/vinyet. 
Umar dulu jaman smsr juga mencari uang jajan lewat vinyet yg dikirimkannya ke Djoko Lodang ataupun Putera Kita, majalah lokal era tahun 870-90an awal. Searang sudah almarhum. 

Sekarang umar bekerja di kelurahan, "pokoke obah golek butuh" katanya.
Lalu saya mewarnai vinyet yang satu ini. Sudah cukup lama saya menggambarnya. Entah mengapa, wajah di vinyet ini mengingatkan saya kepada si Umar. :)
 ‪#‎vinyetkota‬


warna warni #vinyetkota #02


Ini adalah vinyet yang menjadi ilustrasi buku kumpulan cerpen "gula kawung, pohon avokad dan cerita lainnya" karya Zaki Zulhasmi dan Abdullah Allawy yang diterbitkan oleh majalah surah sastra.

warna-warni #vinyetkota #01


gambar vignet/ vinyet tahun lalu, coba saya beri warna dan rencananya akan ikut dipamerkan di pameran perdana #Vinyetkota di bulan maret depan.